Stigma Negatif Lebih Mematikan Dari Covid 19 ?

Arikel disusun oleh Fasya Rizki Ramadani Mahasiswi Prodi S1 Farmasi STIKes Salsabila Serang

Pasien COVID-19 sangatlah berisiko untuk dapat tertular. Ironisnya, tidak hanya tekanan fisik yang harus mereka dapatkan, tetapi juga munculnya beragam stigma yang memengaruhi mental mereka. Salah satu contohnya, terdapat sejumlah perawat yang terintimidasi, yaitu diusir dari kontrakan karena khawatir dapat menularkan virus penyebab COVID-19 (Abdillah, 2020). Hal tersebut tentunya sangat mengenaskan. Selain itu, beberapa tenaga medis juga sudah gugur karena harus berkontak langsung dengan pasien COVID-19 setiap harinya. Hal ini justru merugikan bagi kita sebagai masyarakat karena semakin menipisnya jumlah tenaga medis, semakin sulit pula untuk menangani pasien COVID-19 yang terus bertambah setiap saat. Maka dari itu, sudah sepatutnya masyarakat lebih menghargai para tenaga kesehatan yang sudah berjuang mati-matian dengan tidak menyebarkan stigma tak berdasar yang hanya akan memberi tekanan psikis bagi mereka

Kategori terakhir yaitu pasien serta keluarga terdampak COVID-19. Kelompok ini juga mengalami masa yang teramat sulit. Pasien yang harus berjuang melawan virus ini kerap dijauhi oleh banyak kalangan, seakan-akan penyakit ini sebuah aib yang memalukan. Padahal, mereka inilah yang seharusnya mendapat dukungan penuh agar tetap kuat menghadapai virus ini, tanpa perlu merasa terkucilkan. Dari media sosial pula, beredar sebuah informasi terkait penolakan warga terhadap pemakaman jenazah penderita COVID-19. Bukankah hal ini menjadi pukulan yang amat menyakitkan bagi keluarga pasien? Padahal, menurut William Adu-Krow, juru bicara PAHO/WHO dalam sebuah konferensi pers, dikatakan bahwa belum ada bukti khusus bahwa jenazah dapat mentransmisikan virus pada mereka yang masih hidup (BBC Indonesia, 2020). Namun, demi keamanan bersama, tetap perlu dilakukan upaya preventif selama pemakaman.

Berbagai macam stigma negatif yang ditujukan pada ketiga kalangan tersebut tentunya dapat menyebabkan kekhawatiran atau tekanan psikologis mereka semakin meningkat, sehingga memicu munculnya gejala baru, yaitu psikosomatis. Menurut Zulva (2020) dalam Kartini Kartono (1986), psikosomatis didefinisikan sebagai bentuk macam-macam penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflik psikis dan kecemasan kronis. Pada umumnya, ketika muncul sebuah ancaman, tubuh merespon dengan rasa takut serta cemas berlebih sebagai bentuk untuk menjaga rasa aman. Hal ini pun memengaruhi fungsi fisiologis secara negatif hingga menimbulkan munculnya rasa sakit pada tubuh kita (Fadli, 2020). Jika ditinjau dari fenomena virus Corona yang saat ini sedang terjadi, maka rasa sakit yang timbul akibat kecemasan berlebih berupa gejala semu yang menyerupai COVID-19, seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak napas, dan gejala lainnya. Hal ini menjadi sebuah gejala baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus, bukan hanya dari kalangan tenaga medis, melainkan diri kita sendiri agar lebih memerhatikan orang-orang sekitar kita jikalau mengalamai tekanan psikis yang cukup serius karena gejala ini dapat mengakibatkan menurunnya sistem imun tubuh. Padahal, penyakit COVID-19 ini pada dasarnya menyerang sistem imun tubuh yang lemah. Oleh sebab itu, kita harus secara tenang, tetapi tetap waspada dalam menyikapi fenomena ini.

Stigma negatif ataupun rumor selama masa pandemi COVID-19 ini memang teramat sulit untuk dikendalikan, sehingga sangat wajar apabila terdapat beberapa kalangan yang mengalami kecemasan berlebih serta gejala kesehatan mental lainnya hingga menyebabkan munculnya gejala psikosomatis. Stigma negatif ini sejatinya berawal dari kurangnya informasi atau fakta yang diterima oleh masyarakat, apalagi COVID-19 ini adalah sesuatu yang baru. Oleh karena itu, WHO pun sebenarnya sudah memberikan beberapa anjuran untuk masyarakat terkait fenomena stigma ini, diantaranya adalah perlu adanya upaya untuk penyebaran informasi yang detail dan akurat agar masyarakat tidak lagi merasa kebingungan. Penyebaran informasi dapat kita lakukan melalui media sosial. Dari sudut pandang positif, media sosial sebenarnya memudahkan dalam penyebaran informasi mengenai COVID-19 karena dapat langsung menjangkau jutaan orang dalam satu waktu dengan sangat praktis (Sampurno et al., 2020). Namun, dikembalikan lagi pada pembaca agar dapat secara bijak memilah informasi yang akurat serta berasal dari sumber terpercaya. Dalam penyebaran informasi tersebut, perlu diperhatikan pula kata-kata yang akan disampaikan, seperti mengganti kata “korban COVID-19” menjadi “orang yang dirawat karena COVID-19”, dan sebagainya. Hal ini disebabkan cara berkomunikasi dapat memengaruhi sikap orang lain dalam memandang sesuatu guna tidak menimbulkan stigma negatif. Selain itu, kita juga dapat berupaya untuk memperkuat cerita inspirasi dari orangorang yang telah pulih dari COVID-19, sehingga memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa penyakit ini dapat disembuhkan. Pelaporan berita pun menjadi solusi yang paling mutakhir, yaitu bukan hanya mengenai penyebaran kasus yang terus meningkat maupun konspirasi yang mengerikan, melainkan lebih memfokuskan pada konten mengenai gejala, pencegahan, serta perawatan dari COVID-19. Menurut salah satu psikolog Herdiana (2020), langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan lingkungan positif yang menunjukkan rasa peduli dan empati pada sesama. Bukankah akan jauh lebih indah negara ini, tanpa adanya stigma negatif yang tak berdasar?

REFERENSI

Abdillah, L. A. (2020). Stigma Terhadap Orang Positif COVID-19. Palembang: Universitas Bina Darma

BBC Indonesia. (2020, April 29). Virus corona: Mungkinkah kita tertular virus corona dari jenazah pasien Covid-19?. BBC Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-52467534

Berty, T.T.S & Yulianingsih, T. (2020, Mei 19). Media Sosial Jadi Teman Selama Ramadan di Tengah Pandemi Corona COVID-19. Liputan6.com. Diakses dari https://www.liputan6.com/ramadan/read/4257616/media-sosial-jadi-temanselama-ramadan-di-tengah-pandemi-corona-covid-19

CNN Indonesia. (2020, Juli 12). Kematian akibat Kelaparan Lebih Tinggi dari Infeksi Corona. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20200712183329-255-523784/kematian-akibat-kelaparan-lebih-tinggidari-infeksi-corona

Fadli, R. (2020, Maret 26). Efek Panik Baca Berita Corona, Waspada Gejala Psikosomatis. Diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/efek-panik-bacaberita-corona-waspada-gejala-psikosomatis

Gao, J. et al. (2020) Mental health problems and social media exposure during

COVID-19 outbreak. PLOS ONE, 15(4): e0231924. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0231924

Herdiana, I. (2020). Stigma Saat Pandemi COVID 19 dan Tindakan Melawannya. Diakses dari https://psikologi.unair.ac.id/wp-content/uploads/2020/05/04-Stigma-Saat-Pandemi-COVID-19-dan-Tindakan-Melawannya.pdf

Sampurno, M. B. Y. Et al. (2020). Budaya Media Sosial, Edukasi Masyarakat dan

Pandemi COVID-19. Jurnal Sosial & Budaya Syar-i, 7(6), 529-542. doi: 10.15408/sjsbs.v7i5.15210

Leave a Reply